Minggu, 01 Mei 2011

IDEOLOGI MASYARAKAT JAWA YANG TERKANDUNG DALAM MITOS KEUTAMAAN KEN DEDES

Mitos adalah prosa rakyat yang menceritakan kisah dewa-dewi atau tokoh sakti, terciptanya dunia atau sebuah tempat, hingga kehidupan binatang. Mitos memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat pengampunya. Karena kepercayaan yang sangat tinggi dari masyarakat terhadap kebenaran mitos tersebut, sehingga secara tidak langsung sebuah mitos mengandung sebuah ideologi masyarakat pengampunya.

Di dalam konstruksi masyarakat Jawa, tumbuh kembangnya mitos memiliki hubungan yang sangat erat dengan ideologi yang dianut. Menurut Moens-Zoeb, masyarakat Jawa bukan hanya telah mengambil mitos-mitos yang berasal dari India, tetapi juga mengakui dewa-dewi Hindu sebagai Tuhan mereka. Tidak jarang mereka menganggap bahwa mitos-mitos yang berasal dari India benar-benar terjadi di Pulau Jawa. Pendapat ini menunjukkan bahwa unsur religius sangat kental di dalam mitos-mitos yang hidup di Masyarakat Jawa.

Di masyarakat Jawa terdapat banyak mitos yang berkembang, di antaranya adalah mitos tentang keutamaan seorang wanita bernama Ken Dedes. Hasil dari penelitian di lapangan menyebutkan bahwa beliau adalah seorang wanita rupawan yang alat vitalnya (sumber lain mengatakan betisnya) bercahaya, yang merupakan pertanda bahwa garis keturunannya akan menjadi raja-raja di Pulau Jawa. Ken Dedes adalah putri seorang pemuka agama Buddha Mahayana, dan dia juga seorang pemeluk Buddha yang taat. Kemudian dia diculik oleh Tunggul Ametung dan dipaksa menikah. Pada suatu hari, Ken Arok tanpa sengaja melihat keistimewaan Ken Dedes yang terletak pada salah satu bagian tubuhnya yang bersinar. Kemudian Ken Arok menanyakan hal tersebut kepada gurunya, Empu Lohgawe. Empu Lohgawe menjelaskan bahwa wanita yang alat vitalnya bercahaya adalah wanita yang akan menurunkan raja-raja di Jawa. Kemudian Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes. Dari pasangan inilah akhirnya diturunkan raja-raja Jawa hingga saat ini.

Menurut kitab Pararaton, Ken Dedes disebut sebagai wanita Nareswari. Wanita nareswari berarti wanita utama. Dengan keutamaan itu, siapapun orang berdosa yang menikahi wanita itu, akan menjadi seorang maharaja. Kitab Pararaton juga menyebutkan “kengkis wetisira, kengkab tekeng rahasyanica, nener katon murub denira Ken Angrok” yang berarti “tersingkap betisnya, yang terbuka sampai terbuka rahasianya, lalu terlihat oleh Ken Angrok”. Suntingan tersebut menunjukkan bahwa ada bagian tubuh istimewa dari Ken Dedes -terlepas dari apakah bagian tubuh tersebut adalah betis atau organ vitalnya- yang bercahaya dan menjadi penanda bahwa beliau adalah seorang wanita nareswari. Kitab tersebut juga menggambarkan tingkah laku Ken Dedes sebagai wanita nareswari, yaitu nglakoni karma amandangi yang artinya bertingkah laku sempurna, tanpa cela dan salah langkah.

Mitos Ken Dedes ini memiliki kesamaan dengan mitos masyarakat Jawa tentang Dewi Kunti. Dewi Kunti adalah ibu para Pandawa, para ksatria yang gagah berani dalam epik Mahabharata. Dikisahkan bahwa Dewi Kunti bernama asli Pritha, putri Sura, sorang keturunan terhormat dari wangsa Yadawa dan juga kakek dari Sri Krishna. Karena sepupu Sura, Kuntibhoja, tidak memiliki keturunan, maka Pritha diangkat anak dan diganti namanya menjadi Kunti. Pada masa kecilnya, Dewi Kunti melayani Resi Durwasa dengan pengabdian yang sangat baik, sehingga kemudian resi tersebut memberikan sebuah mantra yang dengan mantra tersebut dia bisa memanggil seorang dewa dan memberinya seorang anak yang memiliki keagungan setara dewa tersebut. Setelah dewasa, Dewi Kunti menikah dengan Raja Pandu, raja Hastinapura. Namun karena sebuah kesalahan, Pandu tidak dapat memiliki keturunan. Maka dengan mantra yang dimilikinya, Dewi Kunti dan Dewi Madri (istri Pandu yang lain) memiliki keturunan-keturunan yang kelak menjadi para ksatria tangguh dan juga maharaja di Indrapura. Sama dengan mitos keutamaan Ken Dedes, Dewi Kunti juga dapat digolongkan sebagai wanita utama yang selama hidupnya selalu menunjukkan keutamaan, tidak hanya melalui keturunan-keturunannya yang istimewa, tetapi juga dalam tingkah laku dan budi pekertinya sehari-hari.

Dari kedua mitos yang dibandingkan di atas, ada beberapa kesamaan yang dapat dijadikan tema dari mitos-mitos keutamaan wanita tersebut. Tema-tema tersebut adalah :

1. Adanya unsur pengabdian terhadap Sang Pencipta.

Tema ini ditarik dari tingkah laku yang ditunjukkan oleh kedua mitos tentang keutamaan wanita di atas. Ken Dedes disebutkan sebagai seorang pemeluk Buddha yang taat, serta bertingkah laku sempurna. Sementara Dewi Kunti menunjukkan pengabdiannya melalui pelayanan yang sangat baik terhadap seorang resi. Dalam ajaran Weda, salah satu bentuk ibadah adalah melayani seorang brahmana. Tingkah laku yang ditunjukkan kedua wanita ini menunjukkan adanya pengabdian tinggi terhadap Sang Pencipta.

2. Adanya hadiah atau pengistimewaan dari Sang Pencipta.

Seluruh agama mengajarkan tentang adanya hubungan sebab-akibat. Agama Islam mengenal nasikh-mansukh, sementara di agama Hindu mengenal adanya hukum karma. Dan itulah yang mampu menjelaskan alasan Sang Pencipta dalam memberikan keistimewaan terhadap Ken Dedes dan Dewi Kunti sebagai hadiah dari pengabdian mereka berdua. Keistimewaan Ken Dedes adalah dalam bentuk organ tubuhnya yang bercahaya, sedangkan Dewi Kunti mendapatkan keistimewaan dalam bentuk mantra. Kedua keistimewaan tersebut berhubungan dengan tugas seorang wanita sebagai pemberi keturunan, karena keistimewaan Ken Dedes terletak pada organ vitalnya yang bercahaya, yang mana kita ketahui bahwa organ vital sangat erat kaitannya dengan keturunan. Sedangkan mantra yang dimiliki oleh Dewi Kunti adalah mantra untuk memanggil seorang dewa yang kemudian memberinya keturunan.

3. Keturunan Istimewa.

Salah satu idiom yang hidup di masyarakat Jawa adalah masak, manak, macak, yang menunjukkan tugas seorang wanita / istri yaitu memasak, memberi keturunan dan berhias diri. Dan tentu saja, adalah sebuah kebahagiaan bagi seorang wanita apabila keturunan mereka menjadi orang-orang yang istimewa. Dan itulah yang terjadi pada Ken Dedes dan Dewi Kunti. Keistimewaan yang mereka dapatkan mengakibatkan mereka memiliki keturunan-keturunan istimewa. Bila keturunan Dewi Kunti kemudian menjadi ksatria-ksatria perkasa dan penguasa di Indrapura dan Hastinapura, maka Ken Dedes ditakdirkan menjadi ibu dari seluruh penguasa di Pulau Jawa.

Dari ketiga tema di atas, dapat kita tarik sebuah benang merah ideologi dari mitos-mitos tersebut, yaitu ideologi ketuhanan. Kedua mitos tersebut menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara makhluk dengan penciptanya, yang ditunjukkan dengan adanya pengabdian dari makhluk, kemudian pemberian hadiah / anugrah Sang Pencipta terhadap makhluk tersebut dalam bentuk keturunan yang istimewa. Benang merah itu adalah ideologi ketuhanan atau religiusitas. Tema-tema yang ditarik dari kedua mitos menunjukkan betapa unsur ketuhanan atau religiusitas memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Jawa, diantaranya adalah bila menginginkan keturunan istimewa, maka kita harus dekat dengan Sang Pencipta.

Keutamaan Ken Dedes yang dekat dengan Sang Pencipta menyebabkan sampai saat ini namanya harum dan citranya sangat baik di mata masyarakat, sehingga banyak yang menyetarakannya dengan Prajnaparamita, Dewi Pengetahuan Hindu. Pengaruh dari mitos Ken Dedes sangat kuat di masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Malang. Selain adanya arca Prajnaparamita di pinggir jalan Singosari – Malang yang dipercayai sebagai perwujudan Ken Dedes, masyarakat Polowijen -tempat kelahiran Ken Dedes- juga merefleksikan bentuk penghormatan mereka dalam bentuk Bersih Desa yang diadakan setiap 1 Suro. Tidak jarang juga peninggalan Ken Dedes yang masih tersisa, yaitu sebuah sumur tua, dijadikan tempat bertapa untuk memohon bantuan Sang Maha Kuasa melalui perantara keistimewaan Ken Dedes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar